Sabtu, 13 Februari 2010
Larangan merayakan hari Valentine
Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)
Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.
larangan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman
Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)
Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.
Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.
larangan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti
Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَا أَعْدَدْتَ لَهَا
“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”
Orang tersebut menjawab,
مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,
فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”
Anas pun mengatakan,
فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”
Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?
Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!
larangan Keempat: Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat
“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)
Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.
Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz DzimmahAsy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.” (1/441,
larangan Kelima: Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina
Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.
Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.
Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.
larangan Keenam: Meniru Perbuatan Setan
Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.”Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)
Selasa, 19 Januari 2010
Tata cara menuntut ilmu
Tata Cara Menuntut ilmu
Barang siapa belum menekuni dasar-dasar ilmu, niscaya tidak akan bisa menguasai ilmu yang diinginkan. Barang siapa yang ingin mendapatkan ilmu langsung sekaligus, maka ilmu itu akan hilang dari dia secara sekaligus pula. Ada sebuah ungkapan: “Penuh sesaknya ilmu yang didengarkan secara berbarengan akan menyesatkan pemahaman.” Dari sini, maka harus ada pendasaran terhadap setiap ilmu yang ingin engkau kuasai dengan cara menekuni dasar-dasar ilmu dan kitab yang ringkas pada seorang guru yang mumpuni, bukan dengan cara otodidak saja serta harus berjenjang dalam belajar.
Allah SWT berfirman (yang artinya), “Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al-Israa’: 106).
“Berkatalah orang-orang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (Al-Furqaan: 32).
“Orang-orang yang telah kami beri al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya ….” (Al-Baqarah: 121).
Dasar ilmu itu didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah juga pada beberapa kaidah yang diambil dari hasil penelitian dan pengamatan yang sempurna terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini adalah yang paling penting yang harus dikuasai oleh seorang penuntut ilmu.
Sebagai contoh adalah kaidah: “Di mana ada kesulitan di situ ada kemudahan.” Kaidah ini bersuddmber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalil dari Al-Qur’an di antaranya sebagai berikut. “…. Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ….” (Al-Hajj: 78). Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Rasulullah saw. kepada Umran bin Hushain: “Shalatlah dengan berdiri, lalu jika engkau tidak mampu maka dengan duduk, dan kalau tidak mampu juga maka dengan berbaring.” (HR Bukhari). Juga, sabda beliau, “Kalau saya perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ini adalah sebuah kaidah yang jika engkau membawakan seribu masalah yang bermacam-macam, niscaya engkau akan bisa menghukuminya berdasarkan pada kaiah ini. Namun, seandainya engkau tidak mengetahui sebuah kaidah, engkau akan sulit memecahkan meskipun hanya dua permasalahan sekalipun.
Berikut ini beberapa perkara yang harus engkau perhatikan pada setiap disiplin ilmu yang hendak engkau pelajari.
-
Menghafal kitab ringkasan tentang ilmu tersebut.
-
Menguasainya dengan bimbingan guru yang ahli di bidangnya.
-
Tidak menyibukkan diri dengan kitab-kitab besar yang panjang lebar merinci permasalahan sebelum menguasai pokok permasalahannya.
-
Tidak pindah dari satu kitab ke kitab lainnya tanpa ada sebab (tuntutan), karena ini termasuk sifat bosan.
-
Mencatat faidah dan kaidah ilmiah.
-
Membulatkan tekad untuk menuntut ilmu dan meningkatkan keilmuannya, serta penuh perhatian dan mempunyai keinginan keras untuk bisa mencapai derajat yang lebih tinggi sehingga bisa menguasai kitab-kitab besar dan panjang lebar dengan sebuah dasar yang kokoh.
Pertama, Menghafal Kitab yang Ringkas tentang Ilmu Tersebut
Misalnya, kalau engkau menginginkan mempelajari ilmu nahwu, hafalkanlah kitab yang ringkas tentang nahwu. Kalau baru mulai belajar, engkau bisa menghafalkan Al-Ajrumiyyah, karena kitab ini jelas dan lengkap. Lalu, lanjutkan ke matan Alfiyah karya Imam Ibnu Malik, karena kitab ini adalah inti sari ilmu nahwu.
Dalam ilmu fiqih, hafalkanlah kitab Zaadul Mustaqni’, karena kitab ini telah disyarah (diulas), diberi catatan kaki, dan diajarkan, meskipun sebagian matan yang lain ada yang lebih baik dari satu sisi, namun kitab ini lebih baik dari sisi banyaknya permasalahan yang terdapat padanya, juga dari sisi sudah diberi syarah dan catatan kaki.
Dalam ilmu hadits, hafalkanlah ‘Umdatul Ahkaam, dan kalau mau lebih, hafalkanlah Buluughul Maraam. Dan, kalau engkau baru memilih salah satu di antara keduanya, hafalkanlah Buluughul Maraam saja, karena kitab ini lebih baik dan haditsnya lebih banyak, juga karena pengarangnya Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menjelaskan derajat haditsnya, yang hal ini tidak terdapat pada kitab ‘Umdatul Ahkam. Walaupun sebenarnya derajat hadits pada kitab ‘Umdatul Ahkam sangat jelas, karena kitab ini tidak memasukkan kecuali hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Dalam ilmu tauhid, yang terbaik adalah kitab Tauhid karya Syaikul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dan, akhir-akhir ini sudah ada yang menakhrij hadits-haditsnya serta menjelaskan yang dha’if pada sebagiannya.
Dalam bab nama dan sifat Allah, yang terbaik adalah kitab Al-Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Kitab ini lengkap, penuh berkah dan faedah. Dan, begitu seterusnya, ambillah dalam setiap disiplin ilmu kitab yang ringkas, lalu hafalkanlah.
Kedua, Menghafalnya dengan Bimbingan Guru yang Ahli di Bidangnya
Mintalah keterangan kitab yang engkau pelajari kepada seorang guru yang baik, ahli, dan amanah. Hal ini agar lebih selamat dari penyimpangan pemahaman. Juga, engkau akan lebih mudah dalam memahami dan lebih cepat.
Imam Ash-Shafadi berkata: “Oleh karena itu, para ulama berkata: ‘Janganlah kamu belajar dari seorang shahafi (orang yang belajarnya otodidak) juga jangan dari mush-hafi (orang yang belajar baca Al-Qur’an secara otodidak).’ Maksudnya, jangan kamu belajar Al-Qur’an dari seseorang yang hanya belajar lewat mush-haf, dan jangan belajar hadits dan ilmu lainnya dari orang yang belajarnya otodidak.”
Oleh karena itu, kita dapati ribua biografi para ulama dari zaman ke zaman dalam berbagai dimensi ilmu selalu penuh memuat nama-nama guru dan murid-muridnya, baik yang sedikit maupun banyak. Dan, lihatlah para ulama yang banyak gurunya, sehingga ada di antara mereka yang gurunya mencapai ribuan, sebagaimana biografi ulama bujangan dalam kitab Al-Isfaar.
Tidak disarankannya belajar secara otodidak atau kepada orang yang belajarnya otodidak dimaksudkan untuk terhindar dari bacaan atau pemahaman yang menyimpang. Dan, tidak disarankannya belajar tanpa guru jika kitab yang engkau baca tidak ada keterangnnya. Adapun kalau kitab itu ada keterangannya seperti mush-haf Al-Qur’an yang terdapat pada zaman sekarang, maka urusannya lain. Karena, hal itu sudah jelas. Tetapi, jika kitab yang engkau baca itu tidak ada penjelasannya atau keterangannya, hendaknya engkau didampingi oleh seorang guru agar terhidar dari bacaan atau pemahaman yang salah.
Ketiga, Tidak Menyibukkan Diri dengan Kitab-Kitab Besar dan Panjang
Ini masalah yang penting bagi pelajar, yaitu hendaknya dia menguasai kitab-kitab yang ringkas terlebih dahulu, baru nanti masuk pada kitab-kitab yang besar. Tetapi, ada sebagian pelajar yang bersikap aneh, dia mempelajari kitab yang besar, lalu apabila duduk di sebuah majelis ilmu, dia berkata, “Telah berkata pengarang kitab ini, berkata pengarang kitab itu, dan seterusnya.” Ini untuk menunjukkan bahwa dia banyak membaca kitab. Bagi pelajar pemula, ini langkah yang tidak tepat. Kami nasihatkan, mulailah dari kitab yang kecil dan ringkas, lalu apabila sudah engkau kuasai dengan baik, barulah engkau menyibukkan diri dengan kitab-kitab yang besar dan panjang.
Keempat, Jangan Berpindah dari Satu Kitab ke Kitab Lainnya tanpa Ada Sebab
Berpindah dari satu kitab ke kitab lainnya, baik kitab yang ringkas atau yang tebal-tebal, merupakan penyakit yang berbahaya, yang akan bisa memutus pelajaran seseorang serta membuang-buang waktunya. Kecuali, hal itu ada sebabnya, misalnya engkau tidak menemukan guru yang bisa mengajarkan kitab itu, tetapi menemukan guru lain yang bagus dan amanah yang mengajarkan kitab ringkas lainnya.
Kelima, Mencatat Faedah dan Kaidah Ilmiah
Ini juga perkara yang penting. Kalau ada sebuah faedah yang hampir-hampir tidak pernah terbayangkan di pikiran atau jarang disebut dan dibahas atau ada perkara baru yang perlu untuk diketahui hukumnya, segeralah menulis dan mencatatnya, jangan berkata: “Itu sesuatu yang saya ketahui dengan baik, tidak perlu mencatatnya, insya Allah saya tidak akan lupa.” Karena, engkau akan sanat cepat melupakannya.
Adapun mengenai kaidah, pahamilah dengan baik serta bersungguh-sungguhlah dalam memahami apa yang disebutkan para ulama tentang alasan sebuah hukum. Karena, semua alasan yang berhubungan dengan hukum masalah fiqih bisa dianggap sebuah kaidah karena merupakan dalil dari sebuah hukum. Alasan dan sebab ini sangat banyak dan setiap sebab mencakup banyak permasalahan lainnya. Misalkan kalau ada yang berkata, “Apabila ada orang yang ragu-ragu apakah air ini suci atau najis, maka hukumnya didasarkan pada yang diyakininya.” Ini merupakan sebuah hukum sekaligus sebuah kaidah, karena pada dasarnya segala sesuatu itu sama dengan keadaan sebelumnya. Jadi, apabila Anda ragu-ragu tenang kejanisan sesuatu yang suci, maka pada dasarnya ia suci. Atau sebaliknya, ragu-ragu tentang sucinya sesuatu yang najis, maka pada dasarnya najis. Karena, pada dasarnya segala sesuatu tetap pada keadaan semula.
Oleh karena itu, seandainya seseorang setiap kali menemukan alasan hukum semacam ini, lalu memahaminya dan menguasainya, kemudian digunakan untuk menjawab berbagai permasalahan, maka ini merupakan sebuah faidah yang besar bagi dirinya maupun orang lain.
Keenam, Membulatkan Tekad untuk Menuntut Ilmu dan Meningkatkannya, Penuh Perhatian dan Mempunyai Keinginan Keras untuk Bisa Mencapai Derajat yang di Atasnya sehingga Bisa Menguasai Kitab-Kitab Besar dan Pnjang Lebar dengan Sebuah Dasar yang Kokoh
Seorang pelajar hendaknya membulatkan tekad untuk menuntut ilmu. Jangan tengok kanan, tengok kiri. Sehari belajar, sehari untuk buka toko, besoknya lagi untuk jualan sayuran. Perbuatan ini tidak disarankan.
Selama engkau masih yakin bahwa belajar adalah jalan hidupmu, maka bulatkan tekad dan konsentrasikan pikiranmu padanya, serta bertekadlah untuk bisa terus maju, jangan jalan di tempat. Pikirkanlah apa yang sudah engkau kuasai dari berbagai dalil dan permasalahan sehingga engkau bisa semakin naik tingkat sedikit demi sedikit.
Ketahuilah, bahwa mempelajari kitab-kitab yang ringkas kemudian baru kitab-kitab yang panjang yang dibuat untuk pendasaran dalam belajar oleh para ulama berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung perbedaan madzhab dan tergantung pula dengan ilmu yang dikuasai oleh para ulama di daerah tersebut. Juga, keadaan ini berbeda antara satu murid dengan yang lainnya karena perbedaan tingkat kepahaman, kekuatan atau lemahnya persiapan, bebal atau encernya otak.
manfaat & keutamaan menuntut ilmu
Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan seseorang untuk mewujudkan keinginan dan cita-cita serta meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Islam mendidik umatnya untuk senantiasa belajar atau mencari ilmu. Hal ini ditunjukan dengan turunnya surat Al-'Alaq ayat 1-5 yang berisi tentang perintah membaca. Membaca adalah rangkaian proses belajar untuk mendapatkan suatu ilmu. Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim, kita harus senantiasa memiliki semangat menuntut ilmu.
Banyak hadis yang menjelaskan perintah menuntut ilmu. Diantara hadis tersebut adalah hadis riwayat Ibnu Majah
:عن انس بن مالك قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم
فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير اهله كمقلد الخنازيرالجوهر واللؤلؤ والذهب . رواه ابن ماجه
Artinya: Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Rasululloh saw. bersabda, 'mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam. Memberikan ilmu kepada orang yang tidak tepat seperti orang yang mengalungi babi dengan permata, mutiara dan emas'." (H.R. Ibnu Maajah no. 220)
Hadis riwayat Ibnu Majah tersebut mengandung pengertian bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. Kewajiban itu berlaku bagi laki-laki atau pun perempuan, anak-anak atau pun dewasa. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk malas mencari ilmu.
Ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tata cara ibadah kepada Allah swt. Ibadah dalam arti luas, baik itu ibadah yang langsung kepada Allah maupun ibadah yang tidak langsung. Hal itu disebabkan karena manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Setiap muslim wajib beribadah kepada Allah swt. Sedangkan beribadah kepada Alloh swt., tanpa mengetahui ilmunya dapat mengakibatkan kesalahan. Apabila dalam beribadah salah tata caranya, ibadah itu tidak akan diterima Allah swt.
Cakupan ilmu sangat luas sekali. Ilmu-ilmu seperti ekonomi, matematika, fisika, kimia, biologi, kedokteran, dan lain sebagainya, merupakan suatu keutamaan. Mencari ilmu-ilmu tersebut hukumnya adalah fardu kifayah. Maksudnya, apabila sebagian orang Islam sudah ada yang mempelajarinya, sebagian yang lain sudah terbebas dari hukum. Meskipun demikian, ilmu-ilmu tersebut tidak kurang keistimewaanya, dan kita tidak boleh menganggap remeh ilmu-ilmu tersebut.
Dalam hadis di atas juga disebutkan bahwa menyampaikan suatu ilmu kepada orang yang tidak tepat adalah sia-sia. Maksudnya, ilmu itu harus disampaikan sesuai dengan taraf berfikir orang yang menerima ilmu tersebut. Memberikan ilmu secara tidak tepat diibaratkan mengalungkan perhiasan pada babi. Meskipun dikalungi perhiasan, babi tetap sebagai binatang yang menjijikan.
Semua perkara yang diperintahkan Islam pasti akan bermanfaat dan membawa kebaikan bagi umatnya. Sebaliknya, perkara yang dilarang Islam, pasti membawa madarat bagi umatnya (jika dilanggar). Menuntut ilmu adalah perkara yang diperintahkan dalam Islam. Dengan demikian, menuntut ilmu membawa banyak manfaat. Di antara manfaat tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, orang yang mencari ilmu memperoleh pahala seperti orang yang berjihad. Hal itu sesuai dengan sabda Rasululloh saw.
Artinya : Orang yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Alloh hingga ia kembali. (H.R. At-Tirmidzi no. 2571)
Kedua, menuntut ilmu mempunyai kebaikan lebih baik daripada salat seratus rakaat. Hal itu sesuai dengan sabda Rasululloh saw. kepada Abu Zar berikut ini.
يا اباذر لان تغدو فتعلم اية من كتاب الله خير لك من ان تصلي مائة ركعة . رواه ابن ماجه
Artinya : Hai Abu Zar, keluarmu dari rumah pada pagi hari untuk mempelajari satu ayat dari kitab Allah itu lebih baik daripada engkau mengerjakan shalat seratus rakaat. (H.R. Ibnu Majah no. 215)
Ketiga, orang yang suka mencari ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga dan dinaungi para malaikat. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
من سلك طريقا يبتغي فيه علما سلك الله به طريقا الى الجنة وان الملا ئكة لتضع اجنحتهارضاء لطالب العلم . رواه الترمذى
Artinya: Barang siapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menaungkan sayap-sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu karena senang terhadap apa yang diperbuat. (H.R. at-Tirmizi no. 2606)
Keempat, menuntut ilmu dan mengamalkannya akan menambah pengetahuan yang belum diketahui, sebagaimana dalam hadis berikut.
Artinya: Dari ibnu abbas r.a. bahwa Rasululloh saw. Bersabda, "Barang siapa belajar ilmu dan mengamalkannya, Allah akan mengajarkan apa yang belum diketahuinya." (H.R. Abu Syaikh).
Orang yang berilmu mempunyai banyak keutamaan. Diantara keutamaan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, memperoleh derajat yang tinggi dari Allah swt. Allah swt. berfirman :
Artinya : ... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujaadilah: 11)
Kedua, memiliki bekal hidup di dunia dan akhirat. Rasulullah saw.bersabda :
Ketiga, memperoleh doa keselamatan dari Allah, para malaikat, dan seluruh penghuni langit serta bumi, bahkan semut di liangnya dan ikan-ikan di lautan. Rasulullah saw. bersabda :
Artinya : Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut di liangnya serta ikan-ikan di lautan, sungguh mendoakan orang-orang yang mengajar manusia kepada kebaikan. (H.R. at-Tirmizi no. 2609).
Keempat, menjadi pewaris nabi. Rasulullah saw. bersabda :
Kelima, memperoleh keselamatan dari laknat Allah swt. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Sesungguhnya dunia itu terkutuk dan juga dengan segala isinya, kecuali zikir dan taat kepada Allah serta orang-orang berilmu dan orang-orang yang belajar. (H.R. at-Tirmizi no. 2244)
Keenam, mempunyai rasa takut kepada Allah swt. karena mengetahui kekuasaan-Nya. Allah swt. berfirman :
Ketujuh, mampu menerima pelajaran dari wahyu Allah swt.
Artinya : Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9) (ibr/sg)
Minggu, 17 Januari 2010
Etika dalam menuntut ilmu
Etika menuntut ilmu ....
Menuntut ilmu adalah satu keharusan bagi kita kaum muslimin. Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, para penuntut ilmu dan yang mengajarkannya.
Adab-adab dalam menuntut ilmu yang harus kita ketahui agar ilmu yang kita tuntut berfaidah bagi kita dan orang yang ada di sekitar kita sangatlah banyak. Adab-adab tersebut di antaranya adalah :
1. Ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Hendaknya niat kita dalam menuntut ilmu adalah karena Allah Azza Wa Jalla dan untuk negeri akhirat. Apabila seseorang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan gelar agar bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi atau ingin menjadi orang yang terpandang atau niat yang sejenisnya, maka Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam telah memberi peringatan tentang hal ini dalam sabdanya :
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, tidaklah ia mempelajarinya melainkan untuk memperoleh harta dunia, dia takkan mendapatkan harumnya bau surga di hari kiamat.” [Dekeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Tetapi kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan syahadah (MA atau Doktor, misalnya) bukan karena ingin mendapatkan dunia, tetapi karena sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis kalau seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, segala ucapannya menjadi lebih didengarkan orang dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah - termasuk niat yang benar.
2. Untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.
Semua manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita, setelah kita menjadi orang yang memiliki ilmu kita harus mengajarkannya kepada orang lain untuk menghilang kebodohan dari diri mereka, dan tentu saja mengajarkan kepada orang lain itu dengan berbagai cara agar orang lain dapat mengambil faidah dari ilmu kita.
Apakah disyaratkan untuk memberi manfaat pada orang lain itu kita duduk dimasjid dan mengadakan satu pengajian ataukah kita memberi manfa’at pada orang lain dengan ilmu itu pada setiap saat? Jawaban yang benar adalah yang kedua; karena Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sampaikanlah dariku walaupun cuma satu ayat (HR: Bukhari)
Imam Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar. Para muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab: ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.
3. Berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari’at.
Sudah menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari’at. Karena kedudukan syari’at sama dengan pedang kalau tidak ada seseorang yang menggunakannya ia tidak berarti apa-apa. Penuntut ilmu harus membela agamanya dari hal-hal yang menyimpang dari agama (bid’ah), sebagaimana tuntunan yang diajarkan Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar, sesuai petunjuk Al-Qor’an dan As-Sunnah.
4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.
Apabila ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan aqidah, karena persoalan aqidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan salaf 1). Berbeda dalam masalah ijtihad, perbedaan pendapat telah ada sejak zaman shahabat, bahkan pada masa Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam masih hidup. Karena itu jangan sampai kita menghina atau menjelekkan orang lain yang kebetulan berbeda pandapat dengan kita.
5. Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Termasuk adab yang tepenting bagi para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Karena orang yang telah memiliki ilmu adalah seperti orang memiliki senjata. Ilmu atau senjata (pedang) tidak akan ada gunanya kecuali diamalkan (digunakan).
6. Menghormati para ulama dan memuliakan mereka.
Penuntut ilmu harus selalu lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang kebetulan keliru di dalam memutuskan suatu masalah. Mengumpat orang biasa saja sudah termasuk dosa besar apalagi kalau orang itu adalah seorang ulama.
7. Mencari kebenaran dan sabar
Termasuk adab yang paling penting bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah mencari kebenaran dari ilmu yang telah didapatkan. Mencari kebenaran dari berita berita yang sampai kepada kita yang menjadi sumber hukum. Ketika sampai kepada kita sebuah hadits misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan hadits tersebut. Kalau sudah kita temukan bukti bahwa hadits itu adalah shahih, kita berusaha lagi mencari makna (pengertian ) dari hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini kita harus sabar, jangan tergesa-gasa, jangan cepat merasa bosan atau keluh kesah. Jangan sampai kita mempelajari satu pelajaran setengah-setengah, belajar satu kitab sebentar lalu ganti lagi dengan kitab yang lain. Kalau seperti itu kita tidak akan mendapatkan apa dari yang kita tuntut.
Di samping itu, mencari kebenaran dalam ilmu sangat penting karena sesungguhnya pembawa berita terkadang punya maksud yang tidak benar, atau barangkali dia tidak bermaksud jahat namun dia keliru dalam memahami sebuah dalil.Wallahu ‘Alam.
Minggu, 10 Januari 2010
Liburan semester di Bogor n Bandung
ini foto saya dan ayah saya ....
disamping masjid Atta'awun